Putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka; Menteri BUMN, Erick Thohir; Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto; hingga Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Dojohadikusumo di Surabaya, Jumat (29/09).
“Mengenai sosok cawapres Pak Prabowo, saya kira pertama bukan rahasia lagi bahwa Mas Gibran adalah salah satu bakal calon wakil presiden, kan ada beberapa (nama) lainnya ya,” kata Hashim dikutip dari Detikcom.
“Saya kira bukan rahasia lagi, ada namanya Pak Erick Thohir, Mbak Khofifah ibu gubernur (Jatim).”
“Dan mungkin ada (nama) lain-lain. Tapi saya kira, tentu juga ada Pak Airlangga Hartarto (Ketum Golkar) dari partai pengusung,” tambah Hashim yang merupakan adik Prabowo.
Hashim menambahkan, sosok Gibran ideal untuk mendamping Prabowo. “Saya kira akan balance (seimbang). Kalau nanti jadi wakil presiden lima tahun lebih, pengalamannya akan bertambah, saya kira ini pasangan ideal,” katanya.
Namun Hashim mengatakan, sampai saat ini masih menunggu hasil uji materi batas usia capres dan cawapres di Mahkamah Konstitusi.
Saat ini Gibran yang menjabat sebagai Wali Kota Solo berusia 35 tahun, sementara UU Pemilu menyaratkan batas usia minimal capres dan cawapres adalah 40 tahun.
Sebelumnya, Waketum Gerindra Irfan Yusuf Hasyim mengatakan bahwa sosok bacawapres Prabowo telah mengerucut ke dua nama, tanpa menyebutkan siapa mereka.
“Ada dua nama, salah satunya tokoh NU Jatim,” kata Yusuf Hasyim usai mendampingi Prabowo Subianto bertemu dengan tokoh kiai di Surabaya, Kamis (28/09), dikutip dari Kompas.com.
Irfan menambahkan, Prabowo Subianto diperkirakan akan segera mengumumkan nama pendampingnya sekitar awal Oktober 2023.
Sejak Kamis (28/09), Prabowo mengunjungi Jawa Timur untuk bertemu puluhan kiai. Yusuf menyebutkan pertemuan itu berlangsung tertutup.
“Pak Prabowo minta restu kepada para kiai di Jatim,” katanya.
Sejauh ini, Prabowo Subianto mendapat dukungan dari Koalisi Indonesia Maju yang berasal dari Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, dan Partai Garuda dalam menghadapi Pilpres 2024.
Selain Prabowo, pasangan bakal calon lain Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar juga mengunjungi sejumlah pondok pesanteren di Jawa Timur.
“Kehadiran kami, diharapkan semangat para pejuang-pejuang politik ahlusunnah wal jamaah di Banyuwangi akan semakin solid,” kata Cak Imin, panggilan Muhaimin.
Dengan dukungan para kiai, pasangan tersebut optimistis bisa meraup banyak suara di Jatim.
‘Kader’ NU di bursa bakal cawapres
Pengamat politik mengatakan suara NU selalu menjadi “incaran” para kandidat capres dalam setiap ajang pemilihan umum (pemilu) karena memiliki jumlah pengikut “terbesar” yang tersebar di seluruh Indonesia.
Penyataan Yenny Wahid, anak pertama Presiden Gus Dur, yang mengaku siap dicalonkan sebagai bakal calon presiden, membuka babak baru dalam bursa bakal cawapres 2024.
Anak pertama Presiden Gus Dur itu pun mengungkap kedekatannya dengan masing-masing kandidat bakal capres.
Sebelum Yenny menyatakan kesiapannya, Khofifah Indar Parawansa mengatakan sedang “menunggu lampu hijau” dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan ulama-ulama” terkait keterlibatannya dalam kontestasi politik 2024.
Khofifah juga mengatakan beberapa partai politik sempat menghubunginya untuk membicarakan peluang itu.
Adapun Muhaimin Iskandar, ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), telah diumumkan sebagai bakal cawapres yang mendampingi Anies Baswedan.
PBNU mengatakan tidak akan mengintervensi langkah politik yang diambil kadernya dan menyatakan PKB “tidak mewakili NU”.
Apakah suara Nahdliyin – warga NU – akan terpecah jika ketiga tokoh tersebut berhasil masuk bursa cawapres? Seperti apa peluang Khofifah, Yenny, dan Muhaimin atau yang akrab disapa Cak Imin?
Mengapa tokoh-tokoh NU menjadi rebutan?
Pada 1955, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Pada saat itu, NU sudah memiliki kursi di parlemen.
Meski pada 1984 NU memutuskan keluar dari politik praktis dan berubah menjadi organisasi keagamaan, massa pendukung NU tidak pernah hilang.
Pengamat dari Indikator Politik, Bawono Kumoro, mengatakan hingga saat ini NU masih menjadi organisasi masyarakat (ormas) dengan jumlah pengikut “terbesar” yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Anggotanya pun lebih besar dari anggota partai politik manapun. Itu mengapa NU menjadi seksi di mata setiap kandidat dalam pemilu,” kata Bawono kepada BBC News Indonesia, Rabu (09/08).
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan tokoh-tokoh NU diyakini mampu mengorganisasi atau mengakumulasi “kekuatan politik Nahdliyin”.
“Di antara 85% orang Indonesia yang mengaku Islam, 20 persennya adalah orang yang merasa atau dekat dan menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama. Besar jumlahnya, makanya diincar,” kata Adi kepada BBC News Indonesia.
Secara khusus, NU juga dikatakan memiliki “kantong suara” di Jawa Timur, provinsi kedua dengan jumlah populasi terbanyak di Indonesia.
Itulah sebabnya, suara dari kalangan NU selalu dianggap penting oleh calon-calon presiden.
Suara yang besar dari Nahdliyin, lanjut Adi, dibutuhkan oleh Anies Baswedan yang lemah di Jawa Timur dan lemah di kalangan NU.
Hal yang sama juga dibutuhkan kubu Prabowo Subianto. Pada Pemilu 2014 dan 2019, Prabowo dikatakan kalah suara di Jawa Timur, salah satunya di kalangan NU.
Sementara bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kehadiran NU menjadi penting karena partai berlambang banteng itu memiliki “hubungan historis” dengan para ulama NU, bahkan sejak Orde Lama.
NU juga dianggap melengkapi irisan Islam dalam PDIP sebagai partai nasionalis.
Tidak hanya dari kuantitasnya, secara kualitas NU juga diyakini “tidak pernah kehabisan kader yang unggul” dan bisa “dipromosikan” di level kepemimpinan nasional.
Sejak pemilihan presiden digelar untuk pertama kalinya pada 2004 hingga sekarang, Bawono mengatakan selalu ada tokoh berlatar belakang NU yang menjadi kontestan di ajang pilpres.
Dalam Pemilu 2004 saja misalnya, ada tiga kader NU yang berpartisipasi, mereka adalah Kyai Haji Salahuddin Wahid yang berpasangan dengan Wiranto, Kyai Haji Hasyim Muzadi yang berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri, dan Hamzah Haz yang berpasangan dengan Agum Gumelar.
Pada Pemilu 2019, ada Kyai Haji Ma’ruf Amin yang menjadi calon wakil Presiden Joko Widodo dan akhirnya memenangkan kontestasi politik itu.
Siapa yang paling kuat?
Meski suara semua poros koalisi Pilpres 2024 “membutuhkan suara NU”, menurut survei pada Juni lalu yang digelar oleh Parameter Politik— lembaga riset politik yang dipimpin Adi Prayitno— tidak ada nama yang kuat dari segi elektabilitas secara personal.
Dari tiga nama yang memiliki latar belakang NU, yaitu Muhaimin Iskandar, Khofifah Indar Parawansa, dan Yenny Wahid, Adi menyebut elektabilitas mereka “rendah”.
Hasil survei itu juga sama dengan yang dilakukan oleh Indikator Politik.
Muhaimin Iskandar atau yang akrab disapa Cak Imin, juga dikatakan memiliki elektabilitas yang rendah, “masih di kisaran angka satu ataupun dua persen”.
“Yenny, sebaliknya popularitasnya juga tidak muncul di survei. Tidak ada yang tahu Yenny itu siapa. Apalagi terkonfirmasi dengan elektabilitasnya, enggak ada,” tambah Adi.
Menurut Bawono, Yenny Wahid tidak pernah muncul dalam survei karena nama anak presiden RI ke-4 itu “baru diletupkan oleh beberapa pihak” belum lama ini.
Hasil riset selama satu setengah tahun yang dilakukan Indikator Politik menunjukkan elektabilitas di antara ketiganya pun tidak jauh berbeda, dengan Khofifah muncul sebagai kader NU yang memiliki elektabilitas tertinggi.
Adi dan Bawono bahkan menyebutkan di luar ketiga nama itu, nama Mahfud MD justru menunjukkan elektabilitas yang lebih baik. Namun, Adi mengatakan, “tidak ada partai yang tertarik mengusung” Mahfud MD.
Bagaimana peluang masing-masing?
Masing-masing nama memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri sebagai cawapres.
Bawono mengatakan meski kini Khofifah tidak bergabung dengan partai mana pun, dia memiliki pengalaman panjang di birokrasi pemerintahan sebagai menteri dan gubernur provinsi “kandang NU”.
Sementara itu, Cak Imin, yang elektabilitasnya di bawah Khofifah, memiliki kelebihan sebagai ketua umum PKB, salah satu partai yang masuk ke daftar lima besar dalam dua pemilu terakhir.
PKB juga diidentikkan sebagai “partai resmi NU”, meski beberapa hari lalu Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan PKB “bukan representasi NU”.
Saat ini PKB berada dalam koalisi partai pendukung Prabowo bersama dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Di sisi lain, Yenny Wahid punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh kedua kader lainnya, yaitu memiliki “darah biru” NU karena merupakan cicit dari pendiri organisasi tersebut.
Namun, sama dengan Khofifah, dia tidak memiliki partai. Bahkan, Bawono mengatakan Yenny Wahid dianggap sebagai “loser” di PKB karena dia kalah dari Cak Imin dalam pemilihan ketua umum PKB beberapa waktu lalu.
Apapun kelebihan dan kekurangan masing-masing kader NU, Bawono menjelaskan, tantangan yang sesungguhnya harus dihadapi ketiganya adalah penerimaan di tingkat elite di masing-masing koalisi.
“Kalau Pak Prabowo mau menggandeng Ibu Khofifah, PKB bisa menerima?”