Jakarta, CNBC Indonesia – Perang saudara yang pecah di Myanmar telah menyebabkan negara tersebut mengalami kelangkaan bahan bakar minyak. Adapun pecahnya perang itu terjadi antara junta militer yang mengambil kekuasaan melalui kudeta pada 2021 lalu dengan milisi bersenjata.
Krisis ini memburuk setelah Dewan Administrasi Negara (SAC) menghadapi serangan di wilayah kilang gasnya. Serangan dilancarkan oleh kekuatan perlawanan.
Kelompok perlawanan etnis di Negara Bagian Shan bagian Utara, berkoordinasi dengan koalisi anti-kudeta di seluruh negeri, mendorong militer keluar dari wilayah yang luas dan mengambil alih penyeberangan perbatasan dan rute yang membawa sebagian besar perdagangan dengan China.
PILIHAN REDAKSIMiris, Momen Natal di Tempat Kelahiran Yesus di PalestinaSebelum Heboh di Debat Capres, Joe Biden Duluan Bicara IKN RIBunuh 20.000 Warga Gaza, Netanyahu Bawa-Bawa Perang Dunia 2 |
Menurut Bank Dunia, impor listrik bulanan dari China ke Myanmar meningkat lebih dari dua kali lipat tahun ini. Otoritas militer pasca kudeta di negara tersebut juga terus mendorong diskusi interkoneksi jaringan listrik dengan Beijing dan Vientiane.
Namun, kecil kemungkinannya negara tetangga, China atau Laos, akan mengekspor listrik ke Myanmar dalam skala besar sebelum cadangan gas di negara tersebut habis. Hal ini akan memaksa SAC untuk mencari sumber energi dan pendapatan alternatif atau berisiko menghadapi krisis.
“Separuh listrik di Myanmar berasal dari gas. Krisis yang mengancam akan memperburuk pemadaman listrik yang terjadi saat ini secara signifikan. Ekspor gas juga menyumbang setengah dari cadangan mata uang, yang sangat dibutuhkan oleh militer. Energi menghadirkan krisis yang nyata bagi Myanmar,” kata Guillaume de Langre, pakar energi dan mantan penasihat pemerintah Myanmar, kepada Al Jazeera, dikutip Minggu (24/12/2023).
Pekan lalu, surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah mengatakan kekurangan minyak dimulai pada Selasa. Ini disebabkan oleh tertundanya pengiriman minyak dari Pelabuhan Thilawa ke stasiun pengisian bahan bakar, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Sebagian besar bahan bakar Yangon tiba melalui pelabuhan, namun mata uang kyat lokal telah anjlok terhadap dolar sejak militer mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021, sehingga berdampak pada kemampuan importir untuk membayar pengiriman bahan bakar.
Seorang koresponden AFP menyebut puluhan mobil dan sepeda motor mengantri dini hari di Yangon. Di wilayah Bago di utara Yangon, beberapa stasiun membatasi penjualan hingga 20 liter per pelanggan.
“Kami tutup selama seminggu karena kekurangan bahan bakar dan baru dibuka pagi ini,” kata seorang petugas pompa bensin di Phayargyi, sekitar 75 kilometer utara Yangon, kepada AFP
“Meski sekarang kami punya bensin, bensinnya akan segera habis karena banyak mobil dan sepeda motor yang datang ke kami karena SPBU terdekat lainnya tutup,” kata mereka, yang meminta tidak disebutkan namanya.
Perekonomian Myanmar merosot sejak kudeta, yang memicu protes besar-besaran pro-demokrasi yang ditumpas oleh tindakan keras militer. Lusinan “Pasukan Pertahanan Rakyat” bermunculan di seluruh negeri untuk melawan junta, dengan bentrokan yang sering terjadi di sebagian besar wilayah negara.
Awal tahun ini, Bank Dunia mengatakan PDB Myanmar diproyeksikan meningkat sebesar tiga persen hingga September 2023, masih sekitar 10% lebih rendah dibandingkan tahun 2019.
“Hambatan pasokan dan permintaan yang parah terus menghambat kegiatan ekonomi,” kata lembaga itu.